Sabtu, 18 Februari 2012

MEMURNIKAN HARI RAYA KURBAN













Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
(Q.S Ash-Shaffat [37]: 102)
Setiap tahun sekali kita telah memperingati Hari Raya Kurban, bahkan sudah beribu tahun umat Islam diberbagai belahan dunia telah merayakan Hari Raya Kurban. Tetapi, cobalah kita lihat sejenak, adakah dampak dari Hari Raya Kurban ini melekat di dalam hati setiap jiwa dari kita? Ataukah hanya sebatas rutinitas tahunan saja?
Sebagaimana ibadah haji, Hari Raya Kurban sangat erat kaitannya dengan dengan ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi Ibrahim a.s. Karena kesabaran dan keikhlasannya dalam menghadapi ujian hidup. Itulah juga mengapa beliau diangkat oleh Allah sebagai “kholilullah”, nabi kesayangan Allah. Umat dari tiga agama samawi yang bermukim di Yerusalem seperti; Islam, Nasrani dan Yahudi, kesemuanya mengakui keagungan akhlak beliau dan ajaran serta risalah yang dibawanya. Beliaulah bapak tiga agama monotheisme itu. Bahkan, konon di dalam kitab suci agama Hindu sosok nabi Ibrahim dikenal dengan sebutan nama Brahma. Begitu sentralnya peran nabi Ibrahim dalam mengemban misi ajaran agama tauhid yang begitu agung ini, sehingga kehadiran Rasulullah SAW di pentas bumi inipun tidak lain hanya untuk mengikuti, meneruskan serta memurnikan kembali ajaran dari nabi Ibrahim yang lurus (hanif).
Katakanlah: “Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar; agama Ibrahim yang lurus; dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S Al-An’aam [6]: 161).
Beberapa pakar telah menduga bahwa “kurban” merupakan sebuah kebudayaan spiritual purba yang telah dikenal lama sejak zaman nenek moyang kita. Dari sederetan kisah sejarah para Nabi dan Rasul, kurban telah dikenal sejak masa peradaban putra Adam a.s. yang bernama Habil dan Qabil. Saat itu manusia telah mengenal kebudayaan bercocok tanam dan beternak. Dikisahkan dari berbagai kitab tafsir bahwa Habil adalah seorang peternak, sedangkan Qabil adalah seorang petani. Mereka membuat persembahan kurban dalam bentuk hasil pertanian dan peternakan. Habil mempersembahkan domba terbaik yang dimilikinya. Sedangkan Qabil mempersembahkan hasil pertanian yang kurang sempurna. Maka, Allah menerima persembahan dari Habil dan menolak persembahan dari Qabil. Dalam hal ini persembahan terbaik dan penuh keikhlasan itulah yang diterima oleh Allah.
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Q.S Al Maidah [5]: 27)
Dari sinilah dipetik sebuah pelajaran berharga bahwa sesuatu yang dikurbankan haruslah dalam bentuk yang sempurna, tidak cacat dan disertai keikhlasan. Anak cucu Adam sangat menyadari betapa pentingnya “kurban”, dan mulailah tradisi ini berkembang dari masa ke masa sehingga akhirnya bukan hanya binatang yang dipersembahkan, tetapi juga manusia. Dan juga bukan hanya kepada Allah persembahan itu dilakukan, tetapi juga kepada dewa-dewa yang dipertuhankan.
Sejarah menginformasikan bahwa penduduk suku Maya primitif di Meksiko yang menyembah dewa matahari mempersembahkan jantung dan darah manusia. Mereka berkeyakinan bahwa dewa tersebut terus-menerus bertempur melawan dewa gelap. Demi kesinambungan cahaya, bahkan demi hidup ini, sang dewa harus dibantu dengan darah dan jantung persembahan itu. Peradaban suku-suku Maya primitif di Meksiko tersebut telah difilmkan dengan sangat apik oleh Mel Gibson dengan judul Appocalypto.
Orang-orang Viking, bangsa pelaut yang mendiami Skandinavia, menyembah Odin sebagai dewa perang. Mereka mempersembahkan pemuka agama sebagai kurban untuk dipersembahkan. Kurban tersebut diikat, digantung pada sebuah pohon yang dianggap suci, kemudian ditikam dengan sebilah tombak, dengan tujuan menghapus dosa bagi mereka yang mempersembahkan kurban itu. Di Timur tengah, suku Kan’an yang bermukim di Irak, mengurbankan bayi untuk dewa Ba’al. Begitu juga di Mesir, penduduknya mempersembahkan gadis cantik untuk dewi sungai Nil
Nabi Ibrahim hidup pada abad ke 18 SM, suatu masa ketika terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan ajaran agama yang masih menjadikan manusia sebagai kurban bagi tuhan-tuhan mereka. Di masa inilah tradisi kurban kembali dimurnikan. Ketika Nabi Ibrahim a.s. diperintahkan oleh Allah melalui mimpinya untuk menyembelih putra tercintanya. Sebagai isyarat bahwa jiwa yang paling berharga di sisi seseorang bukanlah sesuatu yang berarti jika Tuhan meminta. Betapa berat ujian yang dihadapi Nabi Ibrahim ini. Keikhlasan disertai kesabaran akan pemenuhan permintaan Tuhan itulah jawabannya. Betapa keikhlasan disini bukanlah sesuatu yang hanya diteorikan semata. Karena tidak ada sesuatu yang bernilai tinggi jika dihadapkan dengan perintah Tuhan. Cinta kepada Allah harus selalu berada di atas segalanya. Inilah puncak ketauhidan sejati. Puncak keimanan hakiki. Sebagaimana apa yang telah dikatakan oleh Ismail yang ketika itu merupakan putra kandung pertama satu-satunya, perkataannya terhadap ayahnya ibrahim telah diabadikan di dalam Alqur’an,
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S Ash-Shaffat [37]: 102).
Tetapi, ini bukan berarti mempertahankan tradisi pengurbanan karena ketika pisau sudah mulai dihunjamkan dan digerakkan untuk menyembelih sang anak, Allah membatalkan dengan mengirim seekor domba sebgai penggantinya. Hal ini karena Tuhan sedemikian kasihnya kepada manusia sehingga kurban berupa manusia tidak diperkenankan. Melalui beliaulah kebiasaan mengorbankan manusia sebagai sesaji atau tumbal dibatalkan oleh Tuhan. Namun, Allah masih memperingatkan kepada kita akan tujuan yang dicapai dari kurban tersebut:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Q.S Al Hajj [22]: 37).
Ketakwaan itu tercermin antara lain ketika sebagian daging kurban diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Tidak memandang ras, suku, maupun agama yang berbeda. Karena niatnya harus tulus ikhlas mengharap ridha Allah, bukan niat yang lain-lain. Demikian juga karena rahmat kasih sayang Allah terpancar kepada setiap makhluknya. Baik yang beriman ataupun tidak, semuanya merasakan kasih sayangNya. Amatilah matahari, ketika memancarkan cahayanya, ia tidak membedakan satu makhluk dengan makhluk lainnya. Tidak seorang pun merasa kekurangan cahaya atau kehangatan betapapun besarnya keramaian.
Kurban disyariatkan guna mengingatkan kepada manusia bahwa jalan menuju kebahagiaan membutuhkan pengorbanan. Namun, yang dikurbankan bukanlah manusia, tetapi binatang jantan yang sehat, tidak cacat dan sempurna umurnya. Bukan pula nilai-nilai kemanusiaan yang dikorbankan, melainkan sifat-sifat kebinatangan yang melekat di dalam jiwa manusia itulah yang harus dibunuh. Inilah sekelumit makna lahir dan batin dari Hari Raya Kurban
Akan tetapi, saat ini kemurnian ibadah kurban telah terkikis oleh masa yang berkepanjangan. Terlebih lagi di era modern dewasa ini peristiwa kurban hanya sebatas dikenal sebagai ritual untuk menggugurkan kewajiban bagi orang kaya. Hanya formalitas saja, tidak bermakna lagi. Sebagian dari kita masih ada yang memahami peristiwa kurban baru dari segi lahiriahnya saja. Meskipun sudah berkurban setiap tahunnya, tetap saja praktik-praktik korupsi masih saja dilakukan oleh segelintir pejabat.
Jika kita melihat dunia fauna, secara alami harimau tidak akan memusnahkan rusa di hutan yang ada di dalam ekosistemnya.. Dari sekian ratus ekor kawanan rusa, hanya satu atau dua ekor saja yang diburu untuk dimangsa, dan itupun yang paling lemah bukan yang kuat larinya. Harimau tidak mau menghancurkan ekosistemnya sendiri. Pun harimau tidaklah memangsa harimau lainnya. Bila ada dua ekor harimau jantan bertarung, sifatnya hanya mengalahkan untuk memperebutkan pengaruh atau teritori tertentu, dan tidak membunuh lawannya.
Sekarang, perhatikanlah perilaku manusia. Tak ada abad tanpa peperangan antar manusia. Padahal manusia mengklaim dirinya makhluk beradab. Dalam kenyataannya, banyak sekali manusia yang biadab. Manusia satu memusnahkan manusia lainnya untuk memperturutkan hawa nafsunya. Bahkan tidak lama ini terdengar kasus terorisme di Mumbai, India, yang telah menewaskan 160 korban jiwa manusia, 15 diantaranya adalah warga Negara asing. Inilah zaman dimana terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Inilah zaman dimana aksi terorisme mengatasnamakan Tuhan terjadi dimana-mana.
Selain itu, Inilah zaman penindasan seksual, pembodohan bagi kaum perempuan dimana hak-haknya telah dirampas hanya untuk kepentingan kaum kyai dalam berbisnis dengan mengatas namakan agama. Inilah kurban-kurban manusia di zaman modern. Bahkan inilah zaman dimana harga diri bangsa dikurbankan untuk kepentingan asing.
Sungguh, peringatan hari raya kurban ini tidak akan pernah sempurna dan menjadi sia-sia jika hanya dipahami dari sisi lahiriahnya. Pemaknaan kurban secara lahiriah hanya akan mempersempit semangat keberagamaan, karena kurban berupa binatang atau domba hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mampu. Dan kebanyakan hanya dipahami sebatas formalitas saja. Tapi yang terpenting, kita semua harus mampu untuk membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri kita, seperti rakus, tamak, ambisi yang tak terkendali, menindas, menyerang, meneror, tidak memiliki akal budi, tidak mengenal hukum dan norma-norma adab yang berlaku.
Allah tidak membutuhkan kurban apapun dari manusia, karena di sisi Allah semua itu kecil. Segala perintahNya semata-mata hanya untuk hamba-hamba yang dikasihiNya. Agar manusia kembali kepada fitrahnya sebagai insan kamil.
Wallahu a’lam.
Hari Nugroho
Mahasiswa Arsitektur Angkatan 2006
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar